Mereka selalu begini. Ya, adu mulut seperti ini di hadapannya. Dan itu hanya karena hal sepele. Mereka menganggap diri merekalah yang paling benar. Membuat perdebatan itu entah kapan berakhir dan Vienna sudah sangat jengah. Mengabaikan tatapan orang-orang, Vienna melanjutkan langkahnya yang terhenti. Telinganya terasa panas karena mereka tak mau jua berhenti berdebat.
“Bisakah kalian berhenti!” Vienna berteriak frustasi. Menatap Jay dan Aryan bergantian seraya mengusap kedua kuping nya, “Sehariii saja… Kalau tidak satu menit saja… Berhentilah berdebat. Kalian membuat telingaku sakit. Lihat. Semua orang melihat kita” Aryan dan Jay langsung menatap ke sekeliling mereka mendapati beberapa pejalan kaki yang lain memandangi mereka dengan aneh.
“Aku heran kenapa kalian bisa berteman tapi selaluuuu saja berdebat tentang hal-hal tidak penting” Vienna mendengus. Ia memperbaiki rambutnya yang agak berantakan, “jika kalian selalu seperti ini aku muak” kemudian ia berjalan meninggalkan Aryan dan Jay.
“Ini semua gara-garamu Aryan! Vien jadi marah!” kening Aryan mengernyit kala mendengar tuduhan Jay.
“Apa? Kenapa aku yang kau salahkan? Kan kau yang salah. Memulai berdebat denganku”
“Heh?! Awalnya kan aku hanya mengusulkan kita bertiga untuk pergi melepas penat ke Syndril. Apa itu salah?”
“Tentu saja bodoh. Syndril terlalu jauh dan kita sedang tidak punya waktu luang untuk hal seperti itu”
“Nah, harusnya kau mengatakan itu tadi bukannya malah memarahiku”
“Loh? Bukankah kau yang –“
“KALIAN AKAN TETAP BERDEBAT DI TENGAH JALAN SEPERTI ITU?! LIMA BELAS MENIT LAGI KELAS AKAN DIMULAI!” akhirnya perdebatan tidak penting itu berakhir setelah Vienna berteriak dengan murka. Sahabatnya itu langsung berlari terbirit-birit menghampiri Vienna. Meminta maaf yang sebenarnya percuma saja. Vienna hanya menghela nafas. Berusaha memaklumi sahabatnya itu.
Mungkin perasaanku saja, pikir Vienna.
Ia menoleh kebelakang menatap sekitarnya dengan waspada. Ya, itu hanya perasaan ku saja. Kemudian Vienna kembali berbicara dengan sahabat ‘gila’nya. Tak menyadari sepasang mata gelap mengawasinya sedari tadi.
BRUK
“Akh –“ Vienna meringis. Merasakan punggungnya sakit luar biasa karena di dorong ke dinding. Mata bulatnya menatap tiga orang gadis di hadapannya.
“Berhentilah bersikap seperti seorang jalang Vienna! Kenapa kau masih menggoda Aryanku, hah!” salah seorang dari tiga orang gadis itu berteriak. Wajahnya memerah menahan amarah. Namanya Calia. Terobsesi dengan Aryan, sahabatnya. Sebenarnya, Aryan dan Jay itu populer di kampus. Mereka memiliki bakat dan suara yang luar biasa. Selain itu, mereka juga tampan. Tetapi sudah sejak dulu, Vienna selalu bersama mereka. Senang maupun sedih ia lalui bersama kedua pria itu. Dan ratusan kali ia mendapat teror dari para pengagum Aryan dan Jay. Jumlah para pengagum Aryan dan Jay selau bertambah dimanapun mereka berada.
“Dan berhenti memojokkanku seperti ini. Hanya karena kau mengagumi Aryan bukan berarti kau harus memilikinya! Lagi pula aku tak akan membiarkan dirimu mendekati Aryan. Kau sama sekali tak pantas untuk sahabatku!” Vienna balas berteriak. Menatap Calia dengan tatapan menantang.
Calia tampak menggeram. Ekspresi nya berubah dari marah menjadi meremehkan lalu mendengus pelan, “lihatlah teman-teman… siapa yang berbicara di hadapan kita sekarang…” ujarnya remeh. Matanya menatap Vienna dari atas sampai bawah.
“Oh, ayolah Vienna… Kau sama sekali tak pantas berbicara seperti itu. Apa kau lupa?” Calia bersidekap dada mendekati Vienna menatapnya tepat di mata, “kau hanyalah seorang gadis yang beruntung mendapatkan undangan untuk belajar di kampus ini… Mengandalkan otak mu yang encer itu. Aku yakin, makan di kantin saja kau meminjam uang Aryan dan Jay” mereka semua tertawa terbahak-bahak seolah-olah yang Calia ucapkan tadi adalah sebuah lelucon. Mereka tak menyadari tatapan Vienna yang menggelap.
“Setidaknya…” Mereka berhenti tertawa kala mendengar suara Vienna, “… aku tak menyuap orang agar belajar disini. Aku tak membuang uang untuk hal serendah itu”
Calia memicingkan matanya, “apa? Kau membicarakan ku?” Vienna mendengus dengan keras kemudian mengangkat tinggi dagu nya.
“Apakah kau merasa jika aku membicarakan mu?”
“Sialan kau!” Vienna sama sekali tak mempersiapkan diri ketika Calia menarik rambut se pinggangnya dengan kuat. Ia yakin beberapa helai rambutnya telah meninggalkan kulit kepalanya. Teman-teman Calia bersorak menyemangatinya. Vienna merasa kepalanya pusing dan telinganya berdengung. Namun, ia masih mendengar suara Calia, “kau mengolokku?! Tak tau kah kau jika kau adalah orang dengan kasta terendah disini?!” Vienna berusaha melepaskan cengkraman Calia di rambutnya. Mulutnya mengeluarkan suara ringisan tertahan.
“Ku ingatkan lagi! Kau hanyalah anak haram! Kau sama sekali mengetahui siapa ayahmu! Apakah dia hidup atau tidak! Dasar anak haram tak tau diri!!” Vienna menghentikan gerakannya yang hendak melepaskan tangan Calia.
Apa dia bilang tadi?
Anak… haram?
“Apa kau bilang tadi?” tanya Vienna memastikan.
“Kau tidak dengar?! Kau itu anak haram!!” entah dapat kekuatan darimana, Vienna melepaskan tangan Calia dalam satu kali hentakan, “hei!”, Calia menatap tangan Vienna yang mencengkram pergelangan tangannya dengan sangat kuat, “lepaskan aku sialan!” teriaknya.
Namun, Vienna tak mendengarkannya. Hati Vienna terasa sesak karena amarahnya yang tertahan, “katakan itu sekali lagi akan ku pastikan kau kehilangan wajah cantik yang selalu kau banggakan itu Calia”
“Beraninya kau mengan –“ perkataan Calia terhenti kala ia menatap mata Vienna. Mata itu menatapnya dengan sangat tajam. Dirinya seolah-olah masuk ke dalam tatapan itu. Tanpa sadar Calia menahan nafas nya.
Ada apa ini? Kenapa.. kenapa aku melihat kobaran api di matanya?
Ya, Calia melihatnya. Kobaran api yang menyala-nyala disusul oleh suara dengungan di telinganya sesekali ia mendengar suara rintihan kesakitan yang datang entah darimana. Calia kembali menatap tangan Vienna.
Apa?
Tangan… tangannya mengeluarkan api!
Aku pasti salah lihat!
“Akh!” ternyata benar-benar api. Calia berteriak histeris. Pergelangan tangannya terbakar mungkin akan melepuh nanti, “lepaskan! Tanganku! Sialan ini sakit!” seolah tersadar, Vienna melepas cengkramannya. Ia menatap telapak tangannya yang mengeluarkan api merah menyala. Kemudian api itu hilang perlahan seiring dengan kesadarannya yang kembali.
“Tanganku… Kau… Siapa kau sebenarnya?! Kenapa…?!” Calia berujar dengan terbata-bata. Mata Vienna tampak bergetar.
Kenapa… Kenapa… Tanganku..
“Akan ku buat perhitungan denganmu Vienna!” Calia segera berlari di susul teman-temannya. Sementara Vienna masih menatap telapak tangannya. Dengan perlahan tubuhnya terduduk di rooftop kampusnya. Vienna tidak yakin apa yang membuat tangannya mengeluarkan api. Ia hanya merasa sangat marah ketika Calia mengatai dirinya adalah anak haram. Sejak kecil ia memang sering di ejek seperti itu, tapi ketika ia melanjutkan studi ke perguruan tinggi nyaris tidak ada yang mengetahui hal itu.
“Sebenarnya… Aku ini apa?”
Vienna tidak bisa tidur.
Kenapa? Padahal Vienna bukan tipe orang yang sering mengalami insomnia. Vienna adalah tipe orang yang melihat bantal langsung tidur dengan nyenyak hingga Ibunya sulit membangunkannya. Tapi malam ini beda. Mata Vienna seolah melawan tiap kali dia mau memejamkan mata. Satu helaan nafas ia hembuskan beralih menatap jam dinding.
22.15
Sudah jam sepuluh lewat lima belas menit. Harusnya Vienna sudah tidur sejak jam sembilan atau delapan tadi. Tiga hari terlewati sejak kejadian aneh itu. Dan sejak kejadian itu, Vienna sama sekali tak melihat Calia. Beberapa orang mengatakan bahwa Calia pindah ke Jerman. Mengikuti Ayahnya yang di mutasi kesana. Hal itu sedikit membuat Vienna lega.
Vienna menatap ponsel nya. Ia ingin menghubungi Aryan, tapi sekarang sudah malam pasti Aryan sudah tidur. Lagi-lagi Vienna menghela nafas. Ngomong-ngomong Vienna masih penasaran tentang api itu. Kenapa saat itu pergelangan tangan Calia terbakar? Apalagi saat itu ia tengah menggenggam pergelangan tangan gadis itu. Apa Vienna bisa mengeluarkan kekuatan api seperti di film-film itu? Vienna ingat ketika masih kecil dulu ia berharap mempunyai kekuatan agar keren. Apa harapan ketika ia kecil itu terkabul? Lucu sekali.
Vienna mengambil sebuah foto di bawah bantal nya. Foto satu-satunya yang ia punya untuk mengetahui Ayahnya. Ia mendapatkan foto itu di kamar Ibunya. Saat itu beliau sakit, Vienna lah yang merawat beliau. Ia membersihkan kamar Ibu lalu mendapatkan foto lusuh itu di dalam laci nakas. Foto yang tak di tempel di dalam album foto lain. Di foto itu Ibu tengah menggendong Vienna kecil dan seorang pria berdiri di sampingnya. Sayang, pada bagian wajah laki-laki itu telah di robek. Vienna ingin sekali menanyakan perihal foto ini tapi ia takut Ibunya kembali bersedih ketika mengingat sosok Ayah Vienna itu.
Sejak kecil Vienna tak pernah melihat Ayahnya. Yang ia tau, Ibu selalu mengatakan jika Ayahnya pergi jauh. Semakin Vienna dewasa, ia sadar. Jika sosok Ayah yang ia idam-idamkan itu tak akan pernah menemuinya. Mungkin beliau sudah mendapatkan keluarga baru. Vienna hanya berharap Ayahnya tetap bahagia dan sehat. Karena itu, terkadang di sekolah ada saja yang mengucilkan nya. Memandangnya dengan sebelah mata. Vienna ingat saat itu…
“Hei anak haram! Enyah kau!”
“Kenapa anak seperti mu bisa sekolah disini?”
“Hahaha… Tidak ada yang mau berteman denganmu!”
“Dasar anak haram!”
Vienna menangis dalam diam. Kepalanya menunduk dalam. Ia sama sekali tak membalas cacian mereka. Tangannya mengepal dengan erat. Dimana pun tetap sama ia tetap di bully.
“Hentikan!” Vienna mendongak ketika mendengar suara seorang laki-laki. Itu… Aryan. Apa yang ia lakukan?
“Bisakah kalian berhenti mencaci nya?”
“Tidak usah sok pahlawan begitu Aryan!”
“Ku bilang. Hentikan” mereka berdecih kemudian pergi meninggalkan Vienna dan Aryan. Vienna mengusap pipinya yang terdapat bekas air matanya. Aryan menatap Vienna sambil tersenyum tipis.
“Kau baik-baik saja?”
Yahh… itulah pertemuan pertama Vienna dengan Aryan. Sejak saat itu, jarang ada yang mem-bully-nya. Ketika di bangku sekolah menengah atas, ia bertemu dengan Jay. Jay adalah teman sebangkunya saat itu. Jay di kucilkan karena di anggap aneh. Memiliki rambut panjang hitam terurai mengalahkan indahnya rambut anak perempuan di kelas mereka. Vienna tidak suka teman se kelasnya mengucilkan Jay, ia dan Aryan mendekati Jay hingga membuat mereka bersahabat sampai sekarang.
Vienna menoleh kala mendengar suara seperti lemparan kerikil ke jendela kamarnya, berpikir siapa yang iseng melempar kerikil pada malam hari. Ia membuka jendela kamar dan sebuah kerikil melayang kembali dan untungnya Vienna memiliki refleks yang bagus. Dengan rasa jengkel pandangan Vienna turun ke bawah. Tapi karena sekarang malam hari, lampu yang minim, ia tak melihat si pelaku.
“Siapa itu?” angin dingin malam lah menjawab pertanyaan Vienna. Vienna bergidik ketika merasakan angin dingin itu.
“Siapa itu?” tanyanya lagi tetapi tetap tak ada jawaban. Vienna berdecak. “dasar orang tak ada kerjaan” desis nya. Kemudian kembali menutup jendela kamarnya.
Sosok itu keluar dari tempat persembunyiannya. Di tangannya terdapat kerikil kecil. Mata gelap nan tajam itu menatap jendela kamar Vienna.
“Sebentar lagi…”
Vienna mengusap matanya sambil menguap lebar. Tak memperdulikan sekarang ia sudah berada di kampus, bisa saja mereka melihat wajah absurd Vienna. Gadis itu berjalan di bimbing Aryan. Karna ia berjalan tapi hampir saja menabrak dinding, “aku mengantuk Yan. Kau tidak tau bagaimana aku berjuang agar tertidur dengan cepat semalam” Vienna akan mengeluh seperti itu setiap Aryan menanyakan kenapa ia bisa se-mengantuk ini. Sementara di samping kiri Vienna, Jay dengan santai memakan roti isi selai nanas. Katanya ia terlambat sarapan tadi.
Aryan menghentikan langkahnya ketika melihat kerumunan di depan papan mading, otomatis langkah Vienna terhenti begitu juga dengan Jay, “kenapa Yan?” Aryan menarik tangan Vienna menuju papan mading.
“Hoi! Tunggu aku” Jay menelan gigitan terakhirnya dan menyusul sahabatnya itu. Ternyata di papan mading itu tertempel kertas perihal acara dansa. Di adakan empat hari lagi, dan semua mahasiswa di wajibkan datang. Vienna menatap kertas itu malas, ia tidak tertarik dengan acara seperti itu.
“Kau akan pergi Vien?” Aryan beralih menatap Vienna. Yang di tatap segera menggeleng.
“Kenapa Vien? Semuanya di wajibkan datang” sahut Jay.
“Aku tidak tertarik. Lagi pula ini acara dansa pasti berpasangan. Aku tidak punya pasangan. Kalaupun aku datang tidak ada yang mau berpasangan denganku.”
“Aku mau”/”Aku mau” Vienna menatap Jay dan Aryan bergantian.
“Apa?”
“Kau datang saja. Kami akan menjadi pasangan dansa mu nanti”
“Tidak. Vienna akan berdansa denganku, Yan”
“Apa Vienna mau dansa denganmu? Nanti malah di kira dia dansa dengan perempuan karena rambut panjang mu itu.”
“Aku pria tulen, Aryan!”
“Pria tulen mana ada rambutnya yang panjang!” sebelum Jay membuka mulutnya, Vienna menutup mulutnya dengan telapak tangannya begitu pun Aryan.
“Sudah. Aku akan pergi dan dansa dengan kalian. Jadi sekarang bisa kita ke kelas?”
“Ibu?” Vienna mengetok pintu kamar Ibunya. Setelah mendengar sahutan ia membuka pintu itu dengan perlahan, “Ibu sedang apa?” Ibu tersenyum teduh.
“Hanya mencatat pengeluaran bulan ini” setelah mengecup pelipis Ibunya, Vienna pun duduk di hadapan wanita yang melahirkannya ini.
“Ada apa Vien?” sepertinya Ibu mengetahui maksud Vienna yang sebenarnya. Vienna nyengir dengan lebar.
“Ada acara dansa di kampus, Aryan dan Jay menyuruh ku untuk datang. Apa boleh aku pergi bu?”
“Tentu boleh. Tapi benar kau pergi bersama mereka kan?”
“Benar. Ibu bisa tanya pada mereka. Hmm… lalu aku tak punya gaun Bu…”
“Oh, benarkah? Ahh… ibu lupa. Kau sering membeli kemeja. Besok kita beli gaun nya ya?”
Akhirnya, Ibu meluangkan waktunya untuk menemani Vienna membeli gaun dalam acara dansa nya nanti. Mereka mengunjungi beberapa toko. Namun mereka belum membeli satu helai gaun, ada saja masalahnya. Yang terlau mahal lah, yang kurang bagus, yang warnanya terlalu mencolok atau yang terlalu kurang bahan.
“Sepertinya tidak ada yang cocok Vien” Vienna mengangguk setuju mendengar pernyataan Ibunya. Matanya melihat sekeliling.
“Oh?” Mata bulat Vienna menatap salah satu toko. Min’s Boutique. Kalau tidak salah itu butik milik keluarga senior nya, Maven. Vienna cukup dekat dengan senior nya itu, “bu, ayo kita kesana. Itu butik milik senior ku” Vienna segera menarik tangan Ibu menuju butik Min itu.
“Ada yang bisa saya bantu Nona?” salah satu pegawai wanita menyambut mereka dengan baik. Ibu langsung mengatakan bahwa mereka sedang mencari gaun dansa. Kemudian pegawai wanita itu menunjuk gaun terbaik yang Min’s Boutique punya. Vienna mengedarkan pandangannya. Melihat-lihat gaun yang mungkin ia sukai. Dan sepertinya ia menemukannya. Vienna mendekati salah satu mannequin yang memakai gaun berwarna kuning cerah. Seperti gaun yang di pakai Emma Watson dalam animasi film Disney, Beauty and the Beast. Dan kebetulan, Vienna sangat menyukai film itu.
“Kau menyukai nya?” Vienna mendongak ketika mendengar suara bass seseorang.
“Oh, Maven” Maven tersenyum mendekati Vienna yang berdiri di sebelah mannequin.
“Kau menyukai nya?” ulang Maven.
“Ah… Itu…”
“Mau dengar penjelasan ku mengenai gaun ini?” tawar Maven. Ia beralih menatap Vienna yang mengangguk pelan.
“Gaun ini asli dari desainer, Jacqueline Durran. Gaun ini di jahit menggunakan kain organza sutra ringan berwarna kuning. Kain tersebut kemudian di potong meluas dalam bentuk melingkar dan didesain sederhana sehingga memudahkan si pemakai melakukan gerakan dansa”
“Baju ini yang di pakai Emma Watson, bukan?”
“Ya. Tapi ini bukan bekas di pakai Emma Watson. Kami memesannya khusus dengan kata lain ini Limited Edition” Vienna ternganga. Jika limited edition pasti mahal. Ia melihat tag harga dan kembali ternganga. Harganya sampai jutaan.
“Tentu saja gaun ini mahal. Gaun ini di buat selama enam belas bulan dan delapan belas minggu persiapan. Ditambah gaun ini ramah lingkungan dan nyaman. Terdapat aksen dedaunan berkilauan. Sebanyak 2.160 kristal Swarovski untuk membuat efek kilau tersebut. Dedaunan emas dan glitter juga di tambahkan pada lapisan terakhir gaun untuk memberikan efek kilau ekstra” Vienna mengangguk. Ia ingin membelinya tapi ini terlalu mahal. Mana bisa ia membelinya.
“Vien?” oh, Vienna sepertinya melupakan Ibunya.
“Ibu?”
“Kau disini? Ibu mencarimu sejak tadi…” Vienna hanya nyengir lebar.
“Oh iya bu. Perkenalkan ini Maven, senior ku. Dan Maven, ini Ibuku” Maven membungkuk sopan seraya memperkenalkan dirinya kembali.
“Apa kau sudah mendapatkan gaun yang cocok?” gadis itu segera menarik tangan Ibunya sedikit menjauhi Maven.
“Aku suka gaun itu Bu. Tapi terlalu mahal. Jutaan harganya…”
“Kau ingin membelinya Vienna?” Vienna segera berbalik mendengar pertanyaan Maven.
“Ah… itu…”
“Aku akan memberikannya gratis jika kau pergi ke acara dansa itu bersamaku” mata Vienna langsung membulat. Gratis katanya? Gaun harga jutaan begitu di beri secara cuma-cuma?! Tanpa menunggu jawaban Vienna, Maven langsung menyuruh karyawan nya membungkus gaun itu.
“Nak Maven, tidak usah begitu… harga gaun itu mahal. Kenapa Nak Maven memberikannya gratis pada Vien?” sahut Ibu. Maven tersenyum tipis.
“Tidak apa-apa Nyonya… Asalkan Vienna pergi ke acara dansa di kampus nanti bersama saya” kemudian pegawai Maven datang memberikan bag yang berisi gaun Vienna, “nah, Vienna. Aku akan menjemput mu jam setengah delapan” ujarnya seraya menyerahkan bag itu. Vienna menatap Maven tak enak.
“Sudah ku bilang. it’s okay” akhirnya Vienna beserta Ibu membungkuk terima kasih. Mereka pulang dengan perasaan takjub. Sedangkan Maven, matanya menggelap. Mata yang ramah tadi seolah hilang.
“Ini demi dirimu…”
Maven menutup pintu dan semua jendela di ruangan itu. Setelah memastikan semuanya tertutup, ia mematikan lampu. Kemudian menggores ibu jarinya menggunakan pisau kecil. Darah pun menetes sama sekali tak membuat Maven meringis, ia berjongkok. Membuat gambar lingkaran besar, segitiga dan kalimat puji-pujian dengan darahnya. Kemudian menuangkan cairan berwarna hijau dari botol di tangannya di sekitar lingkaran itu.
“Con esto, insto respetuosamente señor Young..” Maven berujar dengan lantang. Seketika keluar cahaya dari lingkaran itu beserta kabut hijau. Maven menutup matanya sesaat, setelah di rasa cahaya itu meredup ia membuka matanya. Seseorang berdiri di atas lingkaran itu. Jubah hitamnya terkibar dengan gagah. Langsung saja Maven berlutut hormat.
“Selamat datang, Tuan Muda.”
“Kau pergi dengan Maven?!” Vienna menjauhkan ponsel nya dari telinganya.
“Tidak usah berteriak Yan”
“Tapi… Kenapa?”
“Nanti aku ceritakan”
“Vien!”
“Ku tutup!” Vienna mendengus keras, melempar ponsel nya keatas ranjang sembari mengambil gaun untuk pesta dansa nanti, “apa aku harus berpenampilan seperti biasa?” matanya menatap gaun itu ragu-ragu.
Ting Tong
Vienna menoleh mendengar suara bel rumahnya, berpikir-pikir siapa yang datang di malam hari begini, kemudian membuka pintu rumah. Ternyata yang bertamu adalah Maven bersama seorang wanita dengan koper kecil di tangannya, “oh, Maven…” Maven tersenyum tipis. Ia memakai kemeja merah di lapisi tuxedo hitam mengkilat. Rambut berwarna silvernya tampak di tata dengan rapi.
“Apa kami boleh masuk Vien?” Vienna mengangguk. Ia membuka pintu dengan lebar mempersilahkan Maven dan wanita itu masuk.
“Maven, bukankah kau akan menjemput ku jam setengah delapan? Masih banyak waktu luang sebelum jam janji” Maven tetap mempertahankan senyuman nya.
“Kau akan di dandan olehnya” jarinya menunjuk wanita yang berdiri di sampingnya. Di dandan? Hell, Vienna tak pernah memakai make up, sekarang malah di suruh.
“Tapi Maven…”
“Dia sudah datang jauh-jauh dan kau ingin mengusirnya?” mendengar itu langsung membuat Vienna tak enak hati. Jadi ia membiarkan wanita itu mendandaninya nanti. Maven menatap punggung Vienna yang menghilang di balik pintu kamar. Kakinya melangkah keluar, menatap langit yang agak terang. Awan-awan tampak berwarna kehijauan.
“Inilah saatnya…”
“Vienna!” Ibu datang dengan wajah pucat dan panik. Ia bahkan tak melihat kehadiran Maven di ruang tamu. Ibu membuka pintu kamar Vienna dengan tergesa-gesa.
Vienna yang telah selesai di dandan itu menoleh, “Ibu?” Ibu menghampiri Vienna menatap satu-satunya putri yang ia miliki itu sembari berkata, “kau tidak boleh pergi ke acara dansa malam ini” Vienna mengerutkan dahinya. Kenapa tiba-tiba begini? Padahal ia ingin sekali menghadiri acara itu.
“Tapi kenapa?”
“Ibu baru saja berbicara dengan pendeta. Beliau berkata, acara dansa itu akan menjadi bagian dari acara iblis. Kamu benar-benar tak boleh kesana” Vienna melirik wanita yang mendandaninya tadi. Wanita itu tampak sibuk dengan alat-alat make up yang di gunakan tadi.
“Bu, Maven sudah datang ke sini, menjemput ku, bahkan ia mendatangkan wanita itu untuk mendandaniku. Ia memberikan gaun mahal ini secara percuma. Tidak mungkin kan kalau kita menyuruhnya pulang?” Ibu menghela nafas.
“Ketika acara berlangsung, kau harus selalu bersama Aryan ya?” Vienna tersenyum, berharap senyuman nya bisa membuat Ibunya tidak khawatir.
“Iya Ibu”
Maven membuka pintu penumpang, mempersilahkan Vienna untuk keluar. Mengulurkan tangannya yang langsung di sambut Vienna. Mata Maven terus menatap Vienna, gadis itu tampak sangat cantik. Ia seperti meng-cosplay Emma Watson dalam serial Beauty and the Beast. Rambutnya di gulung di beri hiasan bunga kecil dan gaun nya itu membuatnya bertambah anggun. Mungkin Emma Watson kalah karna kecantikan Vienna.
Vienna menatap langit sesaat. Ia sempat bingung melihat langit yang berwarna sedikit kehijauan, walaupun saat ini sudah malam tapi langit tetap terlihat cerah. Tapi ia tak ambil pusing dan berjalan menuju ruang dansa bersama Maven.
Semua tatapan teralihkan padanya. Vienna sedikit risih karena ia tak pernah menjadi pusat perhatian. Terlihat anak laki-laki berjuang satu sama lain untuk memisahkannya dari Maven, membuat ia benar-benar risih. Maven segera membawanya pergi ke meja mengambil minuman. Di sampingnya, Maven tengah meminum sampanye dengan tenang, Vienna menatap sekeliling. Berpikir-pikir di mana Jay dan Aryan saat ini, “Vien? Aku ke toilet dulu” ijin Maven. Vienna mengangguk memperbolehkan. Ia mengambil segelas jus jeruk kemudian meminumnya perlahan.
“Vien!” Vienna menoleh. Bibirnya segera melengkungkan senyuman manis kala melihat orang yang memanggilnya.
“Aryan! Jay!” mereka menghampiri Vienna dengan segera.
“Wahh… Vien. Kau cantik!” puji sahabat Vienna bersamaan. Vienna tersenyum. Tangannya terangkat menyelipkan beberapa anak rambut kebelakang telinganya sembari berkata,
“Benarkah? Terima kasih” Vienna bahkan tak menyadari Aryan dan Jay melongo melihat gerakan Vienna barusan.
“Oh ya, bukankah kau pergi bersama Maven? Dimana dia sekarang?”
“Ke toilet. Kenapa belum kembali juga ya?”
“Kau berhutang penjelasan. Kenapa tidak pergi dengan kami tadi?” sahut Jay yang di angguki oleh Aryan. Vienna pun menjelaskan jika gaun yang ia pakai di berikan oleh Maven secara percuma pada Vienna dengan syarat pergi ke acara dansa ini dengannya.
“Ah… tapi kenapa tiba-tiba? Maven jarang memberikan barang mahal kepada orang lain” Vienna mengedikkan bahunya tak tau. Ia menatap wajah Aryan yang juga menatapnya.
“Kenapa Yan?” Aryan menggeleng kaku menggaruk kepalanya gugup, matanya mengerjap pelan. Ia memalingkan wajahnya gugup. “Oi… Aryan…” Vienna menangkup wajah Aryan menatap mata Aryan intens. “Kau…” Jay sebenarnya heran dengan yang dilakukan Vienna, ia turut menatap Aryan.
“Kau… memakai kontak lens?”, Aryan kembali mengerjab.
Kontak lens?
“Matamu… bukankah berwarna coklat? Kenapa sekarang warna biru?”
“A — ah.. Ya. A – aku memakainya agar keren hehehe…”
“Eh, bukankah tadi kau tidak mema…” sebelum Jay menyelesaikan kalimatnya, Aryan membekap mulut Jay dengan tangannya. Ia menatap Jay seperti bekata ‘nanti aku jelaskan bodoh’. Vienna melepas tangannya dari pipi yang biasanya tembem itu.
“Kau keren kok” Aryan tersenyum mendengar pujian Vienna, sementara Jay berusaha melepas tangan Aryan dari mulutnya. Setelah terlepas ia mengeluh tentang betapa baunya tangan Aryan.
“Kau berhutang penjelasan Aryan” bisik nya. Aryan menatap Jay dengan pandangan sulit di artikan.
Tiba-tiba musik dalam ruangan itu berhenti. Vienna menatap sekeliling, kenapa bisa berhenti? Dan ketika ia menoleh ke belakang, ia tertegun melihat seseorang. Seorang pemuda tampan dengan rambut hitam legam berdiri di hadapannya. Ia terlihat mencolok dengan setelan baju mahal dan rambut hitam rapinya.
“Maukah kau menari denganku?” ujar pemuda itu Vienna mengerjab pelan kemudian menatap Aryan dan Jay.
Ia malu sekali, “t — tapi… aku tidak bisa menari…” pada kenyataannya Vienna bisa. Tetapi berdansa dengan pemuda tampan baru ia lihat membuatnya gugup.
“Take my hand. I’ll teach you to dance” ujar pemuda itu kembali.
Matanya yang berwarna keabu-abuan itu langsung menatap ke dalam mata Vienna. Tangannya terulur. Aryan tampak ingin menghalangi pemuda itu untuk menari dengan Vienna namun Jay menahannya sambil mengangguk pada Vienna. Memperbolehkan gadis yang tengah malu-malu itu untuk menyambut uluran tangan pemuda tampan itu. Vienna mengangguk, perlahan tangannya menyambut uluran tangan pemuda itu.
Semuanya menatap mereka, benar-benar menjadi pusat perhatian. Ketika tangan mereka saling menggenggam, pemuda itu mendekapnya. Untuk sesaat Vienna membiarkannya kemudian ia berusaha melepas dekapan pemuda itu. Mata keduanya bertemu, menyiratkan rasa yang sama;kagum.
“Jay! Lepaskan! Vienna tak boleh berdansa dengannya!”
“Kau kenapa Yan? Ini pertama kalinya seorang pemuda mau mendekati Vienna kita. Seharusnya kau senang!”
“Tapi… Kau itu tidak tau! Shit! Pemuda itu adalah…”
.
.
“Sudah datang waktunya…” sementara itu di sudut ruangan berdiri seorang pemuda dengan rambut silver mencolok. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis;lembut namun tajam,
“benar-benar beauty and the beast”
.
.
“Mmm… Namaku Vienna. Boleh ku tau siapa namamu?” Vienna bertanya dengan nada lembut. Pemuda itu menatap mata Vienna dalam. Mereka berputar dengan perlahan membuat gaun Vienna bergerak dengan anggun kemudian mereka berputar semakin cepat tetapi Vienna tak menyadarinya. Kesadarannya seolah tersedot ke dalam tatapan pemuda itu. Pemuda itu membisikkan namanya dengan suara rendah tepat di telinganya.
.
.
Pemuda dengan tuxedo hitam mengkilat itu menyeringai kala melihat sosok Vienna hilang ketika dia melakukan gerakan memutar, “welcome to our home, Vienna”
.
.
“…Iblis! Pemuda itu iblis Jay!”
“B – bagaimana… bisa? K – kenapa kau tau?”
“Karna aku adalah Guardian Devil!”
.
.
Mereka berputar semakin cepat sampai Vienna tak terlihat lagi di sana. Pemuda itu membungkuk sekali kepada semua orang, kabut berwarna hijau mengelilingi tubuh pemuda itu. Ketika kabut itu menghilang, sosok pemuda itu ikut menghilang.
Iblis telah datang dalam wujud pemuda tampan dan ia membawa Vienna ke neraka melalui putaran nya itu.
.
.
“….Keturunan Satan pertama… Deimos”
.
.
Omake
Ketika kabut hijau itu muncul, Aryan mendorong Jay dengan kuat kemudian berlari menghampiri pemuda itu. Mata biru itu tampak bergetar gelisah. Kabut hijau itu perlahan menghilang,
Sial! Aku terlambat! Aryan mengacak rambutnya frustasi, “bagaimana caranya aku mengatakannya pada Ibu? Ia pasti marah padaku. Sial!”
Jay mengerjap pelan. Apa yang terjadi sebenarnya? Kemana Vienna? Dan apa kata Aryan tadi? Pemuda itu adalah iblis? Aryan sebenarnya adalah Guardian Devil? Apa maksud dari semua ini?
“Jay. Kita harus mencari Maven, sekarang!” andaikan Vienna tak pergi bersama Maven, Aryan bisa menjaga Vienna. Kalau bisa ia akan mengikat tubuh gadis itu agar ia tak berdansa dengan pemuda iblis itu. Ia tak menyalahkan Jay yang menahannya. Tapi ia menyalahkan waktu dan takdir. Waktu yang membuatnya lamban dan takdir yang membuatnya tak bisa berbuat apa-apa.
Tok Tok
“Jay? Aryan?” Ibu menatap mereka bergantian, “apa acaranya sudah selesai? Mana Vienna?” melihat raut wajah Jay dan Aryan yang pucat, membuat hati Ibu tak tenang. Ia merasakan ada hal buruk yang telah terjadi.
“Apa kami boleh masuk dulu Bu?” Ibu membuka pintu rumah dengan lebar, kemudian mereka duduk di ruang tamu.
“Mana Vienna Aryan, Jay? Mana dia?” desak Ibu. Dirinya benar-benar khawatir di tambah perubahan pada fisik Aryan. Daun telinganya tampak lebih runcing matanya berwarna biru pun gigi taringnya juga terlihat.
Aryan telah menunjukkan dirinya yang asli.
“Dia telah membawanya” bisik Aryan.
Ibu tercekat.
D — dia?
“Aryan! Jangan bercanda! V – Vienna tak mungkin…”
“Maafkan aku bu… Ini gara-gara aku, membiarkan Vienna berdansa dengan pemuda itu… Andai aku tak menahan Aryan… I – ini tak akan terjadi. Maafkan aku” ujar Jay penuh penyesalan. Ia bahkan membungkukkan badannya di hadapan Ibu.
Cairan bening nampak berlinang di mata Ibu, kemudian mengalir di pipinya, ”tak mungkin… Vienna…” kemudian beliau terisak pelan. Andai ia menahan Vienna, andai ia menolak gaun yang Maven berikan… Oh! Maven!
“Aryan, Maven… dimana dia? Bukankah dia bersama Vienna?”
“Kecurigaan ku selama ini ternyata benar bu… Maven… dia juga sama seperti ku” Ibu membulatkan matanya. Apa?
“B – bagaimana bisa?”
“Tadi aku dan Jay mencari Maven dan aku melihatnya pergi melalui pintu neraka. Aku… seharusnya aku berhati-hati. Aku adalah Guardian Devil, tapi aku tidak bisa menjaga Vienna…” Aryan mengusap wajahnya frustasi. Di sampingnya Jay menepuk punggungnya menenangkan.
“Kalau begitu Aryan…” Ibu mengusap pipinya yang terdapat bekas aliran air matanya, “bisakah kau membawa Vienna kembali? Aku berdarah murni, jadi tidak bisa pergi kesana” ia menangkup kedua tangan Aryan, “bisakah?” Aryan menatap mata Ibu, mata yang memandangnya dengan penuh harap.
Memang ini yang seharusnya Aryan lakukan. Membawa Vienna kembali. Karna dunia Vienna bukan di neraka atau yang di sebut Gehenna itu, tapi adalah dunia yang di penuhi oleh manusia murni. Tempat dimana Vienna di lahirkan. Di Assiah. Maka ia mengangguk mantap. Ia akan membawa Vienna. Bagaimana pun caranya.
Bahkan walaupun ia harus melawan peraturan di Gehenna.
Aryan menyayat jarinya, kemudian darahnya mengalir. Ia membuat kalimat puji-pujian dengan darah itu. Syarat untuk membuka gerbang Gehenna adalah dengan darah dan cairan khusus berwarna hijau. Cairan itu tak ada di Assiah, murni dari Gehenna.
Setelah mengucapkan sebaris kalimat untuk membuka gerbang itu, lingkaran yang ia buat dengan darah itu pun bersinar. Aryan memperbaiki pakaiannya. Jubah berwarna hijau dengan tudung dan pedang Koumaken di tangannya. Ia menoleh ke belakang menatap Jay dan Ibu bergantian.
Mereka tersenyum sambil mengangguk. Meyakinkan Aryan untuk pergi ke Gehenna. Aryan balas mengangguk. Ia kemudian tersenyum dan berdiri di dalam lingkaran itu. Kabut hijau mengelilinginya, perlahan kabut itu menghilang. Pun sosok Aryan. Ia sudah pergi ke Gehenna.
Menjemput Vienna.
Atau merebut Vienna dari takdirnya.
“Sekarang kita harus menunggu Aryan dengan sabar Bu…” Jay menggenggam tangan Ibu dengan erat. Ibu mengangguk kemudian mereka pergi meninggalkan tempat itu. Berharap, Aryan dapat membawa Vienna kembali.